Touring dan Hiking ke Gunung Batu Jonggol 23 Agustus 2015
Tidak banyak orang yang tahu tentang tempat ini sebelum suatu hari gue melihat postingannya di suatu media sosial. Disaat gunung-gunung terkenal sudah penuh berdesakan dengan tenda-tenda, kami butuh tempat baru yang lebih "hijau" untuk kami datangi. Tapi ternyata tempat baru itu juga menjadi riuh karena sekarang ini, banyak juga orang yang ingin mendapatkan pemandangan diatas tapi tidak ingin repot-repot mendirikan tenda dan berjalan selama beberapa hari.
Sebenarnya Gunung Batu ini lebih logis disebut bukit karena memang hanya terdiri dari susunan batuan saja. Gunung ini memiliki dua sisi yang curam, di salah satu sisinya juga sering dipakai oleh Pemanjat Tebing untuk berlatih.
"Vanished Trip"
Sebutan untuk perjalanan gue yang tujuannya untuk menghilangkan. Mungkin gue mirip dengan salah satu blogger traveler yang salah satu catatan perjalanannya pernah gue baca. Ada tiga tingkat beban pikiran dan cara refreshing yang gue alami dan lakukan. Tingkat pertama dengan kadar ringan, biasanya gue refreshing pikiran dengan cara bernyanyi, bermain gitar atau sekedar berteriak tidak jelas. Yang kedua dengan kadar sedang, biasanya gue refreshing pikiran dengan lari, entah 5 km atau 10 km, entah pagi hari atau malam hari. Biasanya setelah lari dipikiran gue hanya ada "lapar" dan "capek", kemudian tidak sadar gue tertidur pulas. Yang terakhir stress dengan kadar serius, tanpa pikir panjang dan tidak harus ada teman, gue langsung melakukan perjalanan seorang diri. Entah itu naik gunung atau sekedar pergi ke suatu tempat. Kadang aneh, sebab entah kenapa enggak ada rasa takut atau kadarnya berkurang drastis. Perjalanan seorang diri bukanlah hal yang buruk kalau tujuannya positif.
***
Untuk menuju Gunung Batu Jonggol ini ada banyak jalur yang bisa dilalui. Untuk perjalanan pergi gue memilih melewati jalur Cibubur-Cileungsi, sementara perjalanan pulang gue memilih jalur Bukit sentul-Citeureup. Tapi sebagai saran, jalur Cileungsi itu jalannya lebih bagus dibandingkan jalan melalui jalur Citeureup. Yah.. berhubung kendaraan yang gue pakai adalah Vespa, rasanya cukup kesusahan apabila melewati jalur Bukit sentul-Citeureup.
Waktu menujukan jam 10:00 pagi, mesin Vespa merah mulai bergerak. setelah berpamitan dengan Ibu tercinta gue langsung tancap gas melalui jalan raya Jakarta-Bogor. Di tengah jalan gue bertemu dengan teman gue dan suaminya. Pasangan ini sama-sama menyukai petualangan (naik gunung), setelah menikah pun mereka tetap naik gunung dan traveling bersama. Sebenarnya gue sedikit iri juga dengan mereka. Disisi lain gue juga sedih kepada orang-orang yang sering berkata kalau dirinya akan berhenti traveling. Traveling sering disalahkan menjadi penyebab kita menjadi "kekurangan", kekurangan dalam hal finansial. Peralatan, akomodasi dan logistik menggerogoti tabungan para traveler. Mereka bilang hal tersebut membuat kita lupa dan kehilangan masa depan.
Sebenarnya gue juga merasa demikian, di umur gue yang sekarang ini gue rasa tabungan gue kurang mencukupi untuk melakukan perjalanan masa depan. Tapi gue enggak mau terlalu menyalahkan karena gue sering melakukan traveling. Karena tanpa sadar travelinglah yang menghibur gue disaat gue lelah dengan kehidupan. Menurut gue tanpa traveling dunia akan hambar. Bayangkan saja orang yang hidupnya hanya di tempat kerja dan di rumah sampai tua, walaupun tabungannya banyak tapi gue pikir itu membosankan.
***
Vespa gue bertahan melalui kemacetan yang terjadi di daerah Cibubur. Baru pertama kali gue ke Cibubur ini, ternyata tempatnya cukup modern juga. Tata letaknya seperti sudah sangat diperhitungkan dengan baik. Hingga gue melewati Taman Buah Mekarsari dan Harvest City perjalanan sangat lancar. Kemudian setelah melewati kota Jonggol, pemandangan sisi jalan berubah menjadi ladang-ladang yang terhampar luas. Buat orang suka touring, mungkin ini yang dapat membuat perjalanan lebih menarik.
Rute yang gue lalui adalah dari jalan Jakarta-Bogor kemudian gue belok kanan menuju Cibubur atau Cileungsi. Kemudian lurus terus mengikuti jalan utama, jangan masuk ke jalan Jonggol kota. Hingga nanti sampai di pertigaan dimana ada petunjuk jalan kalau lurus menuju Cikarang dan apabila belok kanan menuju Cianjur. Setelah bertanya kepada kasir di suatu minimarket di pertigaan jalan tersebut, gue diberi arahan untuk belok ke kanan dan nanti setelah menemukan pertigaan lagi gue harus berbelok ke arah kanan dan mengikuti papan petunjuk jalan.
Setelah gue keluar dari jalan utama, gue mengikuti papan petunjuk arah yang dipasang di sepanjang jalan. Hingga beberapa menit kemudian kita dapat melihat Gunung Batu Jonggol dengan sangat jelas dari kejauhan. Bentuknya yang khas seperti memiliki moncong menjadi patokan.
Hingga sampailah gue di parkiran Gunung Batu Jonggol itu.
Lahan parkirnya cukup luas, bahkan bisa juga untuk mobil. Namun jalannya sedikit berbatu, jadi untuk yang memakai mobil harus diperhatikan jarak body ke aspal. Disarankan untuk tidak membawa Lamborghini melalui jalan ini karena pasti akan terbentur dengan jalanan. Kalau tank baja sepertinya lebih disarankan.
Keadaan di tempat parkir Gunung Batu Jonggol |
***
Dikenakan Rp. 5000,- untuk sewa parkir di tempat ini. Entah berapa Rupiah apabila kita menginap (mendirikan tenda)?. Di tempat parkir ini sudah banyak berdiri warung-warung yang menyediakan makanan dan minuman. Jangan khawatir dengan harganya, karena menurut gue cukup terjangkau.
Sewaktu gue disana terdapat bendera Indonesia ukuran super besar yang sedang diturunkan oleh FPTI (Front Pembela Tebing Indonesia) Kabupaten Bogor. Mungkin sebagai bentuk apresiasi dalam merayakan kemerdekaan.
Dari tempat parkir kemudian gue berjalanan kaki mengitari gunung untuk naik lewat punggungan. Tepat di depan pintu masuk jalan setapak Gunung Batu Jonggol ini juga terdapat lahan parkir dan warung-warung, hanya saja sepertinya kalau malam lebih sepi sehingga lebih riskan. Disini juga gue ditagih biaya sebesar Rp. 7000,- untuk biaya masuk trek Gunung Batu Jonggol.
Perjalanan dimulai, jalan setapak dengan kemiringan 45 derajat menjadi rintangan pertama yang gue lalui. Sekitar setengah jam jalan setapak mulai terbuka, jarang ada pepohonan yang cukup tinggi untuk berteduh. Gue sempat kaget ternyata ada motor yang dipaksa untuk naik ke tempat ini. Mungkin karena musim kemarau, jadinya jalanan lebih kering. Kalau sedang musim hujan mungkin si motor akan meluncur ke bawah. Di beberapa spot yang masih terdapat pohon rindang, banyak muda-mudi yang sedang berpacaran. Sial.. gue jadi ingin. Gue berpikir, mungkin perbincangan mereka seperti ini:
"Aa cinta gak sama Neng?"
"Cinta atuh Neng.." dengan tatapan berbinar.
"Buktinya apa?"
"Nih.." langsung mengeluarkan bunga Babadotan.
"Ih Aa, kamu co cwit banget"
Yah better-lah daripada yang pacaran gelap-gelapan di pinggir jalan seperti di BNR.
Satu jam berlalu, gue akhirnya sampai di area untuk mendirikan tenda. Tanahnya cukup datar, mungkin muat untuk 7 tenda ukuran 4 orang. Tempatnya sangat terbuka (tidak ada pohon tinggi), kalau malam bisa melihat bintang dengan puas, tapi kalau siang hari bisa kepanasan. Tidak jauh dari tempat itu jalanan mulai menanjak, berbatu dan menyempit. Disana telah disediakan tali untuk membantu kita melewati jalan tersebut. Namun karena jalannya sempit, jadinya kita harus mengantri.
Setelah sampai di puncak Gunung Batu Jonggol gue langsung disuguhi pemandangan Jonggol 360 derajat. Ada beberapa pendaki lain, kemudian kami bertegur sapa. Ternyata kebanyakan juga dari Bogor kota sama seperti gue. Sementara yang lainnya jangankan bertegur sapa, senyumpun tidak dibalas. Memang terlihat perbedaanya antara orang yang sering mendaki gunung dengan orang yang menjadikan Gunung Batu Jonggol ini seperti wisata biasa seperti halnya ke Puncak Bogor.
Itulah yang gue suka dari traveling, menjadikan kita untuk lebih rendah diri.
Di atas Gunung Batu Jonggol terdapat sebuah plakat untuk menghormati orang yang telah meninggal disana. Tertulis jelas waktunya Mei 2105. Setelah bertanya, ternyata kejadiannya sewaktu mereka mau berfoto loncat, yang kemudian tidak sengaja terperosok dan jatuh. Memang kondisi diatas gunung ini cukup sempit, kanan dan kirinya jurang langsung ke bawah. Dengan ketinggian 875 mdpl, itu sama saja dengan jatuh dari atas gedung bertingkat. Mungkin plakat ini juga sebagai pengingat untuk kita agar lebih berhati-hati dan cukup sewajarnya saja apabila ingin mengambil foto.
Jalur pendakian |
Perjalanan dimulai, jalan setapak dengan kemiringan 45 derajat menjadi rintangan pertama yang gue lalui. Sekitar setengah jam jalan setapak mulai terbuka, jarang ada pepohonan yang cukup tinggi untuk berteduh. Gue sempat kaget ternyata ada motor yang dipaksa untuk naik ke tempat ini. Mungkin karena musim kemarau, jadinya jalanan lebih kering. Kalau sedang musim hujan mungkin si motor akan meluncur ke bawah. Di beberapa spot yang masih terdapat pohon rindang, banyak muda-mudi yang sedang berpacaran. Sial.. gue jadi ingin. Gue berpikir, mungkin perbincangan mereka seperti ini:
"Aa cinta gak sama Neng?"
"Cinta atuh Neng.." dengan tatapan berbinar.
"Buktinya apa?"
"Nih.." langsung mengeluarkan bunga Babadotan.
"Ih Aa, kamu co cwit banget"
Yah better-lah daripada yang pacaran gelap-gelapan di pinggir jalan seperti di BNR.
Satu jam berlalu, gue akhirnya sampai di area untuk mendirikan tenda. Tanahnya cukup datar, mungkin muat untuk 7 tenda ukuran 4 orang. Tempatnya sangat terbuka (tidak ada pohon tinggi), kalau malam bisa melihat bintang dengan puas, tapi kalau siang hari bisa kepanasan. Tidak jauh dari tempat itu jalanan mulai menanjak, berbatu dan menyempit. Disana telah disediakan tali untuk membantu kita melewati jalan tersebut. Namun karena jalannya sempit, jadinya kita harus mengantri.
Puncak |
Pemandangan di Puncak |
Setelah sampai di puncak Gunung Batu Jonggol gue langsung disuguhi pemandangan Jonggol 360 derajat. Ada beberapa pendaki lain, kemudian kami bertegur sapa. Ternyata kebanyakan juga dari Bogor kota sama seperti gue. Sementara yang lainnya jangankan bertegur sapa, senyumpun tidak dibalas. Memang terlihat perbedaanya antara orang yang sering mendaki gunung dengan orang yang menjadikan Gunung Batu Jonggol ini seperti wisata biasa seperti halnya ke Puncak Bogor.
Itulah yang gue suka dari traveling, menjadikan kita untuk lebih rendah diri.
Di atas Gunung Batu Jonggol terdapat sebuah plakat untuk menghormati orang yang telah meninggal disana. Tertulis jelas waktunya Mei 2105. Setelah bertanya, ternyata kejadiannya sewaktu mereka mau berfoto loncat, yang kemudian tidak sengaja terperosok dan jatuh. Memang kondisi diatas gunung ini cukup sempit, kanan dan kirinya jurang langsung ke bawah. Dengan ketinggian 875 mdpl, itu sama saja dengan jatuh dari atas gedung bertingkat. Mungkin plakat ini juga sebagai pengingat untuk kita agar lebih berhati-hati dan cukup sewajarnya saja apabila ingin mengambil foto.
Rest In Peace brother..
***
Perjalanan turun ternyata cukup membuat kaki gue lemas, ternyata gue enggak sekuat dahulu lagi. Sampai di parkiran gue langsung ke warung untuk memesan mie rebus dan kopi, nikmat. Kebahagian itu sederhana, mie rebus, kopi, rokok dan kamu. Tuh mamang parkir (kamu).
Gue sempat bertanya tentang jalur Bukit Sentul-Citeureup, katanya lebih dekat dan untuk kondisi jalan tidak terlalu jelek. Maka gue memutuskan pulang lewat jalur Bukit Sentul-Citeureup.
Roda Vespa merah kembali berputar, jalan yang pertama gue lalui ini berupa aspal setengah hancur namun motor masih bisa melaju kencang. Tidak ada lampu jalan yang dipasang untuk menerangi jalan, rumah-rumahpun letaknya berjauhan. Cukup horror juga apabila melalui jalan ini tengah malam sendirian.
Keadaan tambah horror lagi karena mati lampu, yang tadinya terlihat lampu-lampu rumah kemudian menjadi sangat gelap. Hanya lampu-lampu kendaraan saja dari kejauhan.
Jalanan berubah menjadi aspal halus, sesekali gue melewati jalan berbatu namun tidak terlalu panjang. Tujuan yang gue adalah Citeureup, dibeberapa pertigaan terdapat papan petunjuk arah, sementara sisanya gue bertanya ke penduduk disana.
Hingga 3-4 jam kemudian sampailah gue dijalan Raya Jakarta-Bogor. Dan langsung melanjutkan perjalanan ke rumah.
***
Secara keseluruhan Gunung Batu Jonggol ini cukup memuaskan, apalagi dekat dengan Bogor Kota. Namun kalau kita ingin bertenda disini harus diperhatikan persediaan airnya. Karena diatas tidak ada mata air. Mungkin di lain waktu gue bakal kesini lagi untuk bertenda.
***
Perjalanan turun ternyata cukup membuat kaki gue lemas, ternyata gue enggak sekuat dahulu lagi. Sampai di parkiran gue langsung ke warung untuk memesan mie rebus dan kopi, nikmat. Kebahagian itu sederhana, mie rebus, kopi, rokok dan kamu. Tuh mamang parkir (kamu).
Gue sempat bertanya tentang jalur Bukit Sentul-Citeureup, katanya lebih dekat dan untuk kondisi jalan tidak terlalu jelek. Maka gue memutuskan pulang lewat jalur Bukit Sentul-Citeureup.
Roda Vespa merah kembali berputar, jalan yang pertama gue lalui ini berupa aspal setengah hancur namun motor masih bisa melaju kencang. Tidak ada lampu jalan yang dipasang untuk menerangi jalan, rumah-rumahpun letaknya berjauhan. Cukup horror juga apabila melalui jalan ini tengah malam sendirian.
Keadaan tambah horror lagi karena mati lampu, yang tadinya terlihat lampu-lampu rumah kemudian menjadi sangat gelap. Hanya lampu-lampu kendaraan saja dari kejauhan.
Jalanan berubah menjadi aspal halus, sesekali gue melewati jalan berbatu namun tidak terlalu panjang. Tujuan yang gue adalah Citeureup, dibeberapa pertigaan terdapat papan petunjuk arah, sementara sisanya gue bertanya ke penduduk disana.
Hingga 3-4 jam kemudian sampailah gue dijalan Raya Jakarta-Bogor. Dan langsung melanjutkan perjalanan ke rumah.
***
Secara keseluruhan Gunung Batu Jonggol ini cukup memuaskan, apalagi dekat dengan Bogor Kota. Namun kalau kita ingin bertenda disini harus diperhatikan persediaan airnya. Karena diatas tidak ada mata air. Mungkin di lain waktu gue bakal kesini lagi untuk bertenda.
Comments
Post a Comment