Film Everest



Pertama kali gue liat trailernya di salah satu postingan Facebook teman, gue langsung melongo. "Anjrit! Keren banget!". Gue berimejinasi kalau nanti akan banyak adegan menegangkan seperti film Vertical Limit. Gue juga berpikir kalau film ini juga enggak akan seperti film 5 Kilometer, yang cuma menampilkan "drama dan sensasi" keindahan gunung tertinggi di pulau Jawa doang.

Tapi beberapa saat setelah film dimulai muncul tulisan.

"Based on true story".

Berarti semua kejadian yang ada di film ini, semua berdasarkan kisah aslinya. Termasuk yang meninggal..

Ini yang membuat gue langsung diam. Karena enggak seperti elu nonton film fiksi, mau mati juga enggak perduli karena kenyataannya tidak pernah terjadi. Tapi ini film tentang pendakian yang merupakan salah satu hobi gue dan di dalamnya ada kematian. Seketika gue langsung teringat perjalanan-perjalanan pendakian gue yang "nyaris", yang masih syukur gue dan teman-teman gue masih hidup sampai saat ini.

Terus apa bedanya dengan film 5 Kilometer?.

Jelas beda. Tapi disini gue enggak mau menyinggung masalah budget, itu sudah jelas. Hal-hal yang gue maksud adalah sesuatu yang harusnya disampaikan untuk penonton yang masih awam. Diantaranya masalah sampah, skill, knowledge dan attitude ketika mendaki gunung. Mereka mendaki tapi sudah hapal betul resiko yang akan terjadi, sudah hapal betul bagaimana tekniknya, persiapannya dan aklimatisasi. Bahkan ketika keegoisan menguasai diri mereka. Lihat mereka yang "memaksakan", kematian menghampiri mereka. Tapi mereka paham, contohnya ketika Rob yang dengan tenang menghadapi kematian kemudian tubuhnya membeku, ketika Doug yang memaksa pergi ke puncak padahal fisiknya sudah kelelahan kemudian jatuh tersapu angin, Scott yang memaksakan naik demi tanggung jawab kepada regunya padahal tubuhnya sedang sakit dan Harold yang kembali menyusul Rob untuk mengantarkan tabung oksigen, walaupun dia tau badai bisa saja membunuhnya juga.

Terlihat mereka semua mengabaikan prosedur mendaki yang aman. Tapi di gunung semuanya adalah hal lain. Kita bukan robot yang di program 1 akan tetap mengerjakan 1. Kita itu manusia yang punya hati nurani. Gue yakin banyak dari pendaki yang berpikir; Lebih baik mati setelah menggapai puncak Everest, daripada menerima kekecewaan yang panjang selama hidup. Karena itu adalah Everest, salah satu puncak tertinggi di dunia yang sangat tersohor. Naif, egois. Disisi lain juga kita punya rasa solidaritas. Meninggalkan teman untuk mati di gunung adalah bukan pilihan. Meskipun terjadi, pendaki itu pasti akan dihantui rasa bersalah seumur hidupnya.

Tapi satu "mungkin" yang gue suka sebagai salah satu pesan dalam film ini, yakni "is not a happy ending". Ini akan membuat orang-orang berpikir kembali tentang mendaki gunung. Sebagai salah satu hal yang gue tidak suka dengan trend yang terjadi sekarang ini, dimana semua orang berbondong-bondong mendaki gunung. Bukan tentang seberapa "keren" foto kalian diatas puncak, bukan seberapa "mahal" peralatan kalian, bukan seberapa "banyak" uang kalian, tapi gunung itu punya aturan sendiri. Kita harus belajar untuk memahami dan mengerti apa itu resikonya.

Seperti kata Beck "Di gunung ini, di setiap gunung dimanapun, bagiku rasanya seperti bebas".

Mungkin itu juga yang kami rasakan. Buat gue pribadi berada di gunung adalah suatu kesenangan tersendiri, bahkan tanpa harus ada orang lain yang tahu sekalipun.

Comments

  1. film yang benar benar inspiratif, ane sangat suka film film perjuangan seperti ini. banyak motivasi tersendiri yang bisa kita dapatkan. hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bagusan Model Sepatu Jaman Dulu!

Catatan Perjalanan Gunung Patuha; Kawah Yang Terlupakan

Mengakali "Life Hack" Colokan di Luar Negri