Catatan Perjalanan Gunung Patuha; Kawah Yang Terlupakan
Enggak banyak tau tentang Gunung
Patuha, kebanyakan dari kita cuma tau tempat Kawah Putih-nya aja. Kita enggak
tahu kalau Kawah Putih itu bagian dari sebuah gunung yang bernama Patuha.
Memang sih keindahannya jauh banget kalau dibandingin sama Gunung Gede, Rinjani
atau Semeru. Tapi sepanjang perjalanan gue, justru yang kayak gini itu yang
punya keasyikan tersendiri. Disamping masih sepi oleh pendaki-pendaki alay, medannya
juga masih alami. Seperti Gunung CIkuray yang dulu sebelum seterkenal sekarang,
dulu mana ada pos pendaftaran dan pos-pos diatasnya?. Bandingin sama sekarang
yang semuanya serba komersil.
Sebenarnya ini basa-basi gue aja
sih, alasan yang bener adalah karena pengen mencari jodoh ..eh mencari
pengalaman yang baru aja.
Di Gunung Patuha terdapat dua
kawah. Yang pertama itu Kawah Putih dan yang kedua adalah Kawah Saat.
Kebanyakan yang mendaki ke Gunung Patuha ngendiriin tenda di Kawah Saat. Ya
karena enggak mungkin juga ngediriin tenda di Kawah Putih. Yang ada nanti
kami-kami muncul di berita TV dengan headline “Para Pendaki Jomblo Tewas
Keracunan di Kawah Putih”. Kan enggak asik.
Waypoint pertama kami adalah
pintu masuk Kawah Putih yang ada di Bandung. Karena berangkat super larut
malem, akhirnya kita sampe di pintu masuk Kawah Putih sekitar jam 6 pagi.
Kemudian kita parkir mobil di depan warung yang buka 24 jam nonstop untuk
sarapan.
Sehabis sarapan ternyata kita
baru inget kalua kita belum beli air. Kemudian Iqbal dan Ian pergi mencari air,
ya bayangin aja bocah bertelanjang dada, terus sambal bawa-bawa selang. Kurang
lebih kayak gitu lah..
Karena parkir mobil diatas sangat
mahal, akhirnya kita putuskan buat nitipin mobil ke ibu warung. Kemudian kita
naik Ontang-Anting menuju Kawah Putih. Gue lupa jelasnya berapa, tapi kalua
enggak salah tiket masuk + ongkos Ontang-Anting itu sekitar 35rb.
Kendaraan Ontang-Anting ini
sejatinya adalah Angkot yang udah dimodifikasi. Baris kursi ditambah dan pintu
dibuat menjadi setengah. Kenapa dinamakan Ontang-Anting? Karena supirnya adalah
“The Stig”. Kalau yang pernah nonton acara Top Gear pasti tau. Yang jelas kalau
enggak kuat, mending minum Antimo sebelum naek.
Pintu masuk Kawah Putih |
Sampai di Kawah putih gue
kehilangan handphone gue, gue cari-cari kesana kemari tetep enggak nemu.
Was-was juga sih.. enggak tau jatoh atau ketinggalan di mobil. Tapi yasudahlah,
enggak ada yang ngehubungin gue juga. Ini bukan curcol ya! Cuma FYI aja.
Kabut belerang menyambut kami,
eh.. salah deng.. yang bener tukang masker menyambut kami disana. Tapi karena
kita anak kimia, ketika ditawarin beli masker, langsung kami tolak. Soalnya
yang mereka tawarin itu adalah masker mikrobiologi, bukan masker gas, jadi ya
percuma aja. Tapi sebenernya sih karena enggak punya duit juga.
Singkat cerita kami berfoto-foto
cukup lama di Kawah Putih ini. Entah ada berapa banyak mata yang ngeliatin kami
waktu itu? Karena Cuma grup kami doang yang memanggul-manggul keril kesana
kemari. Selesai dari Kawah Putih kemudian kami mencari jalan ke puncak Gunung
Patuha. Karena minim informasi akhirnya kami bertanya ke orang yang disana.
“Pak, upami bade ka Kawah Saat ka
palih mana nya jalanna?” Tanya gue.
“Ka palih dinya” (sambal nunjuk)
“Tapi kedah ngangge guide A kadinya mah”. Jawab bapak-bapak.
Dalam hati.. “Jiah.. nih
bapak-bapak nyari duit banget, segala di duitin” Kemudian gue jalan aja ke jalan
yang ditunjuk tadi tanpa bapak-bapak tadi. Dan ternyata ada yang naek ke Puncak
juga, pendaki lokal dan mereka juga tanpa guide. Jadi intinya kalau jalan-jalan
di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, Banten dan Jakarta itu harus hati-hati.
Karena tiap spot wisata bisa mereka jadikan bahan buat memeras uang para
traveler. Mending kalau ada ticketing resmi dan dia juga petugas resmi. Just
saying..
Naik menuju puncak Gunung Patuha,
pertama kali kita menyusuri punggungan tepat disamping Kawah Putih. Jalur
menanjak sedang dengan medan yang cukup terbuka. Sesekali gas belerang masuk
dan menusuk hidung kami, kadang baunya sangat pekat sampai bikin kita terbatuk-batuk.
“Capek banget chen” Kata Decchan.
“Iya” gue Jawab.
“Kayaknya gara-gara tadi kita
ngehirup H2S deh.. Harus minum susu nih nanti buat netralin” Tambah Decchan.
“Iya Chan kayaknya begitu..” Kata
gue, padahal dalam hati “Jiaaah alesan aja lu, padahal mah faktor U”.
Rehat |
Dalam setengah jam jalur berubah
menjadi tertutup dan mulai menanjak hingga 3 jam kemudian sampailah kami di
bibir Kawah Saat. Disana terdapat jalan ke kanan dan ke kiri, tapi karena kami
lapar itu membuat kami bingung dan gelisah untuk memutuskan jalan mana yang
kami pilih, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di pinggiran Kawah Saat
itu.
Tempatnya terbuka, waktu itu
terdapat batang pohon seperti habis dipakai untuk membuat bivak. Sewaktu kami
memasak, ada dua orang suami-istri datang. Katanya mereka habis jarah, atau
dalam bahasa Indonesia artinya nyekar atau ziarah. Kami langsung berpikir “wah ada
kuburan dong? Serem juga..”. Memang kenyataannya di Kawah dan di puncak Gunung
Patuha ini terdapat makam, entah itu makam siapa?. Tapi banyak banget semacem
sesajen yang ditinggalkan disini. Mungkin mereka ingin mencari kekayaan atau
jodoh (jodoh lagi.. jodoh lagi). Ironis memang.. di Indonesia ini ternyata
masih banyak yang menganut paham sinkretisme.
Makan siang dulu |
Untuk menuju Kawah Saat Gunung
Patuha kita belok kiri menurun di jalan sebelum Puncak Gunung Patuha yang ada
makamnya, karena memang puncaknya banyak seperti Gunung Salak. Jalurnya menukik
tajam, untungnya sudah ada yang memasang tali untuk memepermudah kita buat ngelewatinnya.
Cuma harus ekstra hati-hati karena talinya sedikit kasar dan bisa melukai
telapak tangan, kalau bisa sih pakai sarung cap Gajah Duduk.
Setelah kurang-lebih 45 menit
sampailah kita di dasar Kawah Saat. Kalau kita ngeliat kesekelilingnya kita
akan takjub melihat tingginya dinding kawah, juga mungkin sedikit seram karena
di dasar kawah ini terdapat sebuah kuburan yang kelihatanya sudah lama sekali.
Di samping-samping kuburan terdapat lantai keramik berserta batang pohon
seperti bekas orang lain melakukan kemah disini. Terihat bekas-bekas sejajen
yang tergeletak di sekitar kuburan tadi. Sepertinya ini jadi tempat orang
meminta pesugihan atau ilmu gaib. Sangat disayangkan sih menurut gue, dijaman
sekarang masih ada aja yang minta bukan ke Sang Pencipta. Tapi sebagai umat
beragama yang baik, kami mengucapkan salam (benerin peci).
Menuju Kawah Saat |
Camp |
Disaat Decchan memasak (karena memang
satu-satunya wanita) yang lainnya pada tertidur, termasuk gue. Suasana sore
hari yang dingin di tenda itu memang pas banget buat tidur. Semuanya begitu
indah, pemandangannya dan tukang masaknya (eaaak). Setelah selesai masak, kami
langsung terlelap seiring datangnya malam. Selepas magrib, Danys yang tidur
disamping gue mulai sedikit parno.
“A Chen, ada suara-suara langkah
orang nih di pinggir” Kata Danys.
“Aaah.. binatang kali!” Saut gue.
Padahal dalam hati gue juga
ngerasa sedikit serem, karena kalau malem di dasar kawah ini gelap banget.
Ditambah lagi kabut yang lumayan tebel.
Gue seketika inget kejadian pas
gue ke gunung Raung. Dimana ada tangan tiba-tiba muncul dari bawah tenda,
walaupun cuman sebentar terus keluar lagi tapi kejadian itu ngerubah penilaian
gue. Gue yang tadinya agak gak percaya dengan hal yang begituan jadi ngeliat
langsung. Untungnya waktu itu enggak ada satupun diantara kami yang kesurupan,
kalau terjadi gue pikir bakal ribet urusannya.
Mungkin solusi menhadapai hal
yang kayak gitu adalah; jangan terlalu dipikirin. Kalau dipikirin si yang
ganggu malah kesenengan, jadi cuekin aja.. biar dia manyun terus pulang. By the
way kenapa jadi mistis gini ya catatan perjalanan gue? Haha.
Selepas Isya kita semua keluar
untuk minum-minum, minum kopi tentunya. Seketika kabut ngilang begitu aja,
seperti menyuruh kita untuk menikmatin indahnya langit yang bertabur bintang.
Palagi karena cahaya-cahaya kota semuanya terlahang oleh dinding kawah. Jadi
enggak ada yang ngeganggu sinar dari langit. Indah banget.
Enggak lama kemudian datang
sekelompok pendaki lain yang juga ikut berkemah di dasar kawah. Pendaki dari
Bandung yang gue lupa namanya.. susah soalnya kalau ngapalin nama-nama yang
bukan cewek cakep. Entahlah.. ini semua aneh.. haha.
Dipagi hari kemudian kita kembali
naik ke atas kawah, pagi menjelang siang lah. Setelah berpamitan, kami kemudian
melanjutkan perjalanan. Jalur yang kami lewatin buat turun berbeda dengan jalur
berangkat. Jalur mengelilingi kawah sebagai tujuan terakhir yaitu perkebunan the
Rancabali. Jalurnya naik turun di 1 sampai tiga jam karena memang mengelilingi
kawah. Stelah itu kami kebawah menuju perkebunan. Total lama jam berjalanan
yaitu sekitar 6 jam. Yang menjadi tanda di jalur turun itu adalah patok beton
sebagai batas wilayah kabupaten. Harus hati-hati karena di beberapa bagian di
jalur ini terdapat tanaman berduri, memang sakitnya tidak separah patah hati
sih.. namun tetep aja sakit.
Dengan tim dari Bandung |
Setepak-demi setapak kami lewati,
orang yang berjalan di depan kelihatan banget mukanya penuh dengan jarring laba-laba
yang dia terobos. Mungkin kalau panjang jalurnya berpuluh-puluh kilometer, si
yang berjalan di depan tadi sudah berubah menjadi Spider-man. Langsung ganti
baju spandek super ketat yang keliatan putingnya (cowok ya!).
Setibanya di perkebunan kami
langsung bingung menentukan arah. Karena kalau dilihat dari GPS, posisi kita
malah lebih deket ke pintu masuk kawah putih. Setelah dipikir-pikir kayaknya
lebih baik kembali ke pintu masuk kawah putih aja karena lebih menghemat ongkos
(maklum team kere). Mengikuti jalur ke kiri kea rah jalan besar berbatu sekitar
500 meter. Ditenagh jalan, dari kejauhan kami melihat mamang cilok. Kemudian
kami semua langsung pake topeng, siapin piso dan sembunyi di semak-semak. BEGAL
CILOOOOOK!.
Setelah kenyang kami sempat
ngombrol-ngobrol dengan mamang cilok tadi, katanya dia mau ke Brussel.
“Belgia!!!!????” kata gue.
Ternyata disana ada terowongan
cacing yang menghubungangkan Indonesia dan Belgia. Ternyata kami juga baru tahu
kalau di Belgia juga terdapat mamang cilok. Gue tau ini sulit dimengerti, tapi
kadang kita enggak perlu mengerti tapi harus merasakan. Merasakan cilok.
Kemudian kami kembali melanjutkan
perjalanan turun menggunakan Ontang-Anting menuju parkiran bawah.
Singkatnya Kawah Saat Gunung
Patuha ini memang keindahannya masih jauh dari gunung-gunung yang lain. Tapi
kadang juga keindahan intu ada di moment, bukan di tempat. Menjadikan tempat
ini sebagai tempat kemping disaat tempat yang lain sudah sangat sesak oleh pendaki-pendaki
alay. Itu ide yang bagus!.
Trus jodohnya dapet?
ReplyDeletesamar-samar.. haha
DeletePermsi om,,klo dari persimpangan yg pas istraht di pinggiran kawah tdi ngambil arah mna?? Masih lurus jalur ny klo mw ke kawah saat hhe,,pengen ksana soalny😁😁
ReplyDeleteSebelum tangga turun (disebelah papan informasi) ada jalan kekanan menanjak. Disitu jalannya. Kalau ada yang bilang harus pakai guide, diacuhin aja. itu cuma oknum yang nyari peluang. Jalannya cukup jelas.
DeleteKalau di temoat istirahat atas, kita lanjutin dahulu (lurus) kemudian ke kiri (ada jalan). Cukup terjal jadi harus hati2.
Saya asli penduduk perkebunan patuha, kirain ngga pernah ada org yang nginep di gunung kawah putih, kalo boleh saranin ada satu lagi yg perlu di coba, gunungnya bersebelahan dgn gunung kawah putih, nama gunungnya gunung mayit alias gunung mayat kalo dlm bahasa idonesia
ReplyDeleteIya bener gunung mayit ,
DeleteAwal pendakian kita masuk kmn ya? Mnta info nya kang
ReplyDeleteThanks for sharing, sukses terus..
ReplyDeleteKunjungi juga http://bit.ly/2X2Ittf
Pengen, tp ga ada tmnnya... Ga lucu dunk naik sendirian...
ReplyDeleteAda yg menyediakan team travel kah??
Aku asal Cimahi, kalo mau bareng mangga, rombongan kami 6-8orang, tapi berangkat tanggal 2november
Deletekalau mau gabung, gimana cara nya kak?
DeletePengen tapi ga mau sendirian...
ReplyDeleteKlo ada team travel nya mau dunk @fiahidayah ig aku..
Makash
iya ada desa disana namanya barusel... jadi brussel ya kedengerannya
ReplyDelete