RINJANI Part 2: Tiba di Pulau Pedas

Pedasnya Lombok

Sampai di Lombok malah bingung mau ngapain.

1 menit..

2 menit..

Ohiya! buka sit belt dulu. hehe..

Kemudian semua orang sibuk mencari tas di bagasi atas dan kemudian berjalan keluar pesawat. Sampai di luar pesawat kami melihat orang-orang yang berfoto di Bandara dan tentu saja kami TERGODA, maka kami dengan sangat terpaksa meluangkan waktu sebentar untuk berfoto.

Terpaksa berfoto


Tak lama kami menuju ke tempat pengambilan bagasi, kami melihat orang-orang menggunakan trolley untuk membawa tas mereka.

"Ngambil trolley dimana nih gw?" bertanya dalam hati.

"Oh itu" kemudian melesat kilat gw menuju tempat trolley.

Setibanya di tempat trolley malah bingung.

 "Ini trolley kok gw dorong-dorong gak bisa yah?" wajah bingung kayak anak ilang.

 "Mas.. mas.. itu pegangannya di teken dulu mas!" kata mas-mas.

Taraaa!!! mengelindinglah roda trolley.

Sebelumnya kami sempat berkenalan dengan pendaki lain lagi, tapi jelas terlihat sepertinya mereka adalah pendaki berdompet tebal, mbak siapa gitu gw lupa (pikun). Tapi mereka masih menunggu teman mereka yang berangkat dari Bali, kemudian kami meninggalkan mereka dan bergegas ke pintu masuk utama. Ternyata kami sudah ditunggu oleh saudara temannya si Anjar, dan kami langsung memasukan semuanya ke dalam mobil avanza (kalo gak salah). Didalam mobil gw, Haqi dan om Dody terhimpit oleh kulkas-kulkas dua pintu bawaan kami.

Akhirnya mobil meninggalkan bandara menuju pos pendakian Sembalun. Ditengah perjalanan kami sempat mampir untuk makan siang. Semua menu disana memakai cabai, bahkan sampai merah sekali.

"Huh..hah..huh..hah.." suara mulut kami karena kepedasan. (tapi kok jadi seperti suku pedalaman yah? hehe).

Kemudian kita kembali tancap gas menuju Sembalun.

Si Bungsu yang mengenaskan

Di perjalanan grup bagian belakang sudah mulai mual-mual (gak ada yang bertanggung jawab) karena perjalanan naik-turun dan berkelok-kelok. Perjalanan ke Sembalun sendiri sangat lama, hampir 3 jam kami melaju dan sampailah ke pos Sembalun.

Sesampainya di pos Sembalun kami mendaftarkan diri dan berkenalan dengan pendaki-pendaki lain dan secara tidak sengaja bertemu dengan mas Djarody. Dari jauh sudah terlihat jelas rambut gondrongnya. Pertama kali bertemu mas Djarody di acara (haduh lupa) pokonya waktu itu di cibubur, terus kemudian ketemu sewaktu caving di goa Jomblang. Pokonya dia sudah senior sekali. *anun

Kami memutuskan untuk mulai mendaki pagi esok hari karena waktu itu Anjar sedikit sakit kepala (padahal mah kaki gw yang kepelitek belum sembuh-sembuh). Selain itu juga karena kita masih kecapean selesai menempuh perjalanan jauh. Waktu itu lapak-lapak yang khusus di gunakan sebagai pendaki untuk menginap sudah penuh, akhirnya kami ditawari ruangan kantor yang tidak terpakai.

Diruangan inilah kami akhirnya bertemu dengan “si bungsu”.

Si bungsu adalah pemuda yang sedang kehilangan arah dan ditinggalkan teman-temannya. Kasihan sekali dia. Kemudian kami mengangkutnya dari trotoar jalanan dan kami beri makan sampai dia tumbuh besar, tinggi dan sekarang sedang kuliah di ITS.

Haqi dan si bungsu


Sebutan “si bungsu” sendiri tercipta karena kesalahan sendiri yang dengan polosnya mengaku masih kuliah di depan dedengkot-dedengkot (yaitu kami). Akhirnya dari sini lah si Iqbal (nama aslinya) di panggil “si bungsu” dan dengan sangat tragis harus menuruti perintah yang lebih tua. Ngebantah!? Pecut nih!.

Inilah contoh perintah-perintah kami.

“Bal, bawain!”

“Bal, pijitin!”

“Bal, mandiin!”

“Bal, ngepel tenda gih!” dan sebagainya.

Singkat cerita kami kemudian istirahat diruangan itu.



Nasi kerucut dan pria-pria bercelana legging

Pagi di Sembalun sungguh dingin, setelah shalat Shubuh kami mulai packing kembali barang bawaan kami. Hati setengah ragu , apakah gw bisa mendaki gunung ini? Bagaimana nanti kalau gw gak kuat di tengah jalan?. Hemm..

Melihat keluar ruangan, kami disuguhi pemandangan bukit-bukit yang indah. Bukit yang mengelilingi kami, berwarna hijau mulus seperti karpet gw di rumah. Gunung rinjani juga terlihat jelas.

Setelah selesai mandi, packing dan bedakan kami langsung mencari makan. Terlihat jelas Anjar dan Haqi memakai legging, seperti siap mangkal. Apalagi legging Haqi seperti ada gliter-gliternya, sungguh menyilaukan warga Sembalun waktu itu.


Sampai di warung nasi kami yang dengan wajah kelaparan langsung memesan, ada nasi dan ada lontong. Gw memilih untuk makan nasi, selain karena harga murah juga di dalam nasi ini sudah termasuk lauk daging kerbau dan buncis yang dibumbui cabe yang sangat “huh..hah..huh..hah”. Dan karena bungkusnya di buat kerucut, maka kami sebut itu nasi kerucut.

Perutpun terisi dan kami kemudian ngantuk. Hehe..

Waktu itu di lapangan tepat di seberang ke kanan sedikit warung tempat kami makan, sedang ada pasar pagi. Kemudian gw dan Cucu memutuskan untuk mencari celana legging di pasar itu. Keputusan ini kami tempuh untuk menjaga kekompakan grup pendakian ini, walaupun om Dody menolak memakai karena takut keseksian betisnya terlihat. Padahal gw pun kalau memakai legging akan terlihat seperti “pecun arab” kalau kakak Irgi bilang, dikarenakan karena bentuk betis gw yang sangat tahan banting ini.

Celana legging dapat, dan kami langsung ganti dan melanjutkan perjalanan.

Porter oh porter..

Dengan ‘Bismillah” kami memulai perjalanan, tapi sebelumnya enggak jalan juga sih tapi carer mobil bak sampai batas mobil.

Di mobil bak kami foto-foto. #UdahAjaGitu

Kemudian dengan wajah licik menertawakan dalam hati pendaki-pendaki yang berjalan kaki.

“Ya ampun.. kasihan sekali mereka, ckckck..”

Tak lama kemudian mobil bak yang kami tumpangi mengalami MASALAH BESAR!. Ternyata karena medan yang terlalu licin menyulitkan mobil bak kami untuk terus berjalan., dan dengan berat hati akhirnya kami turun dan berjalan kami. Terlihat dari kejauhan pendaki-pendaki yang kami tertawakan tadi juga tertawa licik.

Dan kami berjalan.

Dengan nafas yang ngos-ngosan gw mengeluarkan HP gw dan mulai merekam. Ada Cucu yang terus mengusap keringatnya dengan tissu, sang dyno-boy om Dody dan Anjar kemudian gw dan Haqi yang tasnya terus bersuara “ngek..ngek..ngek..” karena saking overloadnya.

Kemudian hujan, seketika Cucu dan Anjar menari India. Tapi dalam bayangannya. Hehe..

Sesekali kami berpapasan dengan pendaki yang turun, dan sering sekali kami disusul oleh pendaki-pendaki yang “demm gak adil banget!!!!!! BANGEEETTTT!!!” yang memakai porter. Para pendaki pemakai porter ini sungguh sangat cepat (yaealah..), tapi yang aneh juga porternya juga sangat cepat. Para porter ini memakai kaos oblong, celana pendek dan sendal jepit. Tapi entah kenapa dengan bawaan yang sangat banyak mereka mampu melesat dan memakan semua tanjakan yang ada. Banyak sekali porter yang membawa barang bawaan yang menurut kami “waw”, diantaranya adalah; kasur, telor banyak banget, bunga kol dll. Gw sempat berpikir apakah ada porter yang membawa pendaki?  Pendakinya terikat seperti kambing guling di tongkat para porter? Hemm..

Tapi disinilah pertemanan kemudian terbentuk, sebuah teman sependeritaan (tanpa porter).

Teman sependeritaan

Trek yang di lalui menuju pos 1 sebetulnya adalah jalan besar berbatu dengan alang-alang yang pendek. Hingga kemudian kami sampai pada trek jalan setapak dengan alang-alang yang lumayan tinggi. Pemandangan savana kami nikmati sepanjang jalur ini. Dan karena gunung Rinjani ini memliki banyak punggungan, maka sering sekali kami berpindah punggungan yang tentu saja mengakibatkan kami harus berjalan naik-turun. Sebenarnya perjalanan ke Sebalun ini memutar gunung Rinjani, mungkin agar kita bisa menikmati padang savananya. Sulit menjelaskan padang savana di jalur sembalun, tapi yang jelas begitu indah.
 
 Haqi di savana Sembalun

Rintik-rintik hujan kemudian turun.

Kami langsung memakai peralatan hujan kami. Tapi selesainya dipakai hujan kemudian berhenti. #demm
Setelah berjam-jam berlalu kami akhirnya sampai di POS 1 dan di sambut dengan hangatnya matahari. Di pos 1 terlihat bule-bule yang sedang makan siang, semua makan siangnya di siapkan oleh porter. Sementara kami sibuk buka kompor dan ngacak-ngacak perbekalan. Nasib..nasib..

Sesudah para bule bersama porternya pergi, kami terheran dengan pendaki yang masih terdiam di pos 1. Sementara di depan para porter yang segitu banyaknya sudah berjalan jauh.

“Kok porternya ninggalin sih mbak?” kata gw.

“Porter siapa itu mah? Kita mah gak pake porter” kata mbak pendaki.

“ohhh.. kirain, pantesan aja.. hehe” kata kami.

“iyah, yang pake porter mah pasti jalannya lambat, hehe” kata trio pendaki di pos 1.

Kemudian kami berkenalan dengan mereka. Rupanya mereka pendaki asal Bekasi. Dua orang cowok bernama Bedu dan Dedi, sementara satu orang lagi cewek bernama Wiwit. Dan karena mereka lebih tua dari kami (kecuali om Dody tentunya) maka kami menambahkan kata "bang" dan "mbak". Dan semenjak pertemuan itulah kami menjadi berjalan berbarengan. Karena mungkin sama lambatnya dan sama beratnya (read: keril kulkas).

***

Comments

Popular posts from this blog

Bagusan Model Sepatu Jaman Dulu!

Catatan Perjalanan Gunung Patuha; Kawah Yang Terlupakan

Mengakali "Life Hack" Colokan di Luar Negri